Langsung ke konten utama

Ke-Indonesia-an

Filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), pernah mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang terjadi adalah konflik.
Ditambah ketidakmampuan (ataukah ketidakmauan?) pemimpin menegakkan hukum, maka yang muncul adalah kerusuhan di Ambon, Poso, dan Tuban, pascareformasi. Eforia reformasi dengan ingar bingar demokratisasi, desentralisasi, dan de-korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)-isasi ternyata di sisi lain mengabaikan identitas politik, ideologi, dan budaya Indonesia.
Yang muncul adalah konflik komunal dan bangkitnya ”massa” sebagai kekuatan represif— menggantikan keotoriteran Orde Baru—yang melahirkan kerusuhan dan kekerasan dengan jubah agama. Tidak jujur Semua barangkali berpangkal dari ketidakjujuran mengurus bangsa. Kesadaran sebagai bangsa Indonesia memang baru mencuat pada awal 1920-an, berkat jasa politik kultural yang teramat besar dari Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda. Sebagai bangsa muda bisa dipahami mengapa selalu muncul kekuatan-kekuatan disintegratif yang selalu ingin memisahkan diri dari republik yang memang dibangun atas himpunan kerajaan kecil dengan berbagai keragaman suku dan bahasanya.
Yang muncul justru pencarian identitas kesukuan dan keagamaan yang ”kebablasan” di beberapa daerah dan memunculkan syak wasangka antarsuku, antaragama, antargolongan. Dampaknya bisa dilihat dari bagaimana tiap daerah berlomba-lomba memunculkan putra daerah sebagai bupati, wali kota, sampai tingkat kepala bagian.
Selain mungkin memang tidak pantas menjadi juara, yang utama adalah karena menimbulkan antipati daerah lain yang calonnya tidak menang. Berbagai macam fanatisme sempit itu mengindikasikan kian jauhnya masyarakat dari semangat keindonesiaan. Kondisi makin memprihatinkan karena situasi yang bisa memupuk semangat keindonesiaan tidak ada. Berbagai ajang prestasi bangsa, sebutlah perebutan Piala Thomas dan Uber untuk bulu tangkis beregu, juga tak memberi hasil menggembirakan.
Iklan-iklan yang membangkitkan nasionalisme bangsa perlu disebarluaskan untuk kembali mengingatkan bahwa selain bangga menjadi orang Minang, Jawa, Bali, Papua, dan seterusnya, ada kebanggaan yang lebih besar sebagai bangsa Indonesia. Namun, rekayasa politik identitas kebudayaan ini takkan berarti tanpa dukungan sektor lain.
Saat ini sudah 70 juta penduduk terancam menjadi pengangguran sehingga makin banyak orang yang lapar, tidak bisa mengakses pendidikan dan fasilitas kesehatan. Ditambah dengan penegakan keadilan dan penguatan masyarakat madani melalui pendekatan transformatif yang memberi ruang kepada masyarakat untuk mengatasi persoalannya sendiri tanpa intervensi otoritas agama, ilmu, pemerintah, dan berbagai otoritas lain yang cenderung mengungkung, makna kebangsaan bisa direkonstruksikan kembali. Semua itu menjadi kunci menuju Indonesia 2030 yang seperti diungkapkan Immanuel Kant, hanya memerlukan hukum yang bisa menjamin kebebasan privat setiap warga negara untuk menganut pandangan moral dan religiusitas yang berbeda-beda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Budi Kecil

…Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal… Lirik lagu milik Iwan Fals ini sering sekali terimajinasi oleh saya, dari suara vokal dan gitar yang dibawakan oleh Iwan Fals, atau pun dari suara teman-teman saya ketika bernyanyi bersama, dengan seadanya. Mulanya saya kira lagu ini berjudul ‘Anak Sekecil Itu’, maklum saja saya tak pernah mendengarnya melalui versi lengkap yang dinyanyikan Iwan Fals. Ternyata lagu ini berjudul ‘Sore Tugu Pancoran’. Tiap kali mendengar lagu ini, ada satu perasaan yang hadir menyelimuti hati saya, yaitu tragis. Kenapa? Karena lagu ini berkisah tentang anak kecil bernama Budi yang harus bekerja sebagai penjual koran sore di kawasan Pancoran, kalau tidak salah ini di kawasan Jakarta Selatan. Ia melakukannya demi tetap dapat bersekolah dan mengenyam pendidikan untuk menggapai cita-cita. Ironis sekali Iwan Fals me...

Cerita Kelas Empat

Cerita-cerita dari teman sesama pengajar benar-benar membuka mata saya akan apa yang sudah saya lakukan dan kerjakan selama mengajar. Banyak kekurangan di sana sini. Masih belum maksimal di beberapa aspek. Bahkan minim di satu, dua poin pengembangan. Kekurangan tak membuat saya kecewa. Justru saya kembali dengan banyak bahan evaluasi dan perbaikan ke depan. Dalam beberapa sesi diskusi, agaknya saya mesti bersyukur diberi kepercayaan mengajarkan kelas rendah. Buat saya, kelas empat adalah sebuah transisi. Proses perubahan pemikiran anak-anak dari yang sebelumnya belajar materi-materi sederhana ke materi-materi yang jauh lebih serius dan rumit. Jam belajarnya pun bertambah. Banyak teman mengeluhkan anak murid mereka yang belum lancar membaca dan mengingat hurf-huruf bahasa Inggris. Jelas, di kelas saya pun masih ada yang belum bisa membaca dan menghapal huruf-huruf dalam Bahasa Inggris. Tapi saya tak mengejar terlampau jauh ke belakang. Bayangkan di kelas 4 dengan materi s...

SAYA TIDAK SETUJU DENGAN KURIKULUM 2013!

Dari awal saya mendengar dan sampai mengikuti pemberitaan dan kabar tentang Kurikulum 2013 tentang rencana pemerintah menerapkan Kurikulum 2013 mulai tahun 2013/2014 saya sudah kesal sekali. Loh kok kesal? Ya iya lah kesal, mungkin bukan dirasakan saya saja tapi kalangan praktisi pendidikan bahkan orang tua murid yang tak menyetujui rencana ini. Kurikulum 2013 ini rencananya akan memangkas jumlah mata pelajaran di sekolah sehingga menjadi lebih sedikit, yaitu tingkat SD dari 10 mata pelajaran (mapel) dipangkas menjadi 6 mapel. Mapel yang ditiadakan antara lain : IPA, IPS, Bahasa Inggris, Teknologi Informatika dan Komputer (TIK). Padahal pelajaran ini begitu penting di era kini malah ditiadakan. IPA misalnya yang dihilangkan. Duh jangan mentang-mentang anak Indonesia lumayan banyak berprestasi di Olimpiade Sains tingkat Internasional, maka pelajaran ini dianggap gampang. Mereka itu Cuma sedikit jumlahnya dibandingkan anak-anak yang kurang paham sains. Ini tentu bertentangan dengan sema...