Siang ini setelah istirahat pertama, saya bersiap untuk mengajar di kelas 4. Baru saja beberapa langkah saya meninggalkan kantor sekolah, tiba-tiba Ade Fitri, salah seorang siswa kelas 4 berlari ke arah saya dan berteriak memanggil nama saya, “Pak, cepat masuk kelas. Andre nangis Pak....” teriaknya menghampiri saya. Setengah tak percaya kalo Andre nangis, saya tanya Ade, “Andre nangis?” sambil senyum. Ohy Andre siswa paling senior di kelas 4 bersama Dudung, karena di kelas 3 mereka tidak naik kelas dan siswa yang agak sedikit susah diatur.
Pernah sekali ketika berdoa sebelum belajar, saya memergoki Andre tidur di kelas. “Pak Angyar, cepat masuk dan lihat Andre. Andre nangis di fitnah Pak”. Gina memanggil nama saya pas ketika saya di pintu kelas 4. Terlihat Andre sedang menundukan kepalanya dan menangis sesegukan. “Andre kenapa nangis?” tanya saya menghampirinya. Anak-anak satu kelas menimpali pertanyaan saya, “Andre di fitnah Pak, Andre di fitnah Pak....” Anak-anak satu kelas menimpali pertanyaan saya. Ramailah suasana kelas dengan suara jawaban mereka. “Coba semuanya diam, Bapak pengen tau jawaban dari Andre”. Saya mencoba menenangkan suasana. Saya terus tanya Andre tapi dia tetap menangis sesegukan dan tak terdengar sepatah katapun selain suara tangisannya itu. Saya pun meminta salah satu anak di kelas untuk menceritakan apa yang terjadi. “Coba Bapak pengen tau, sebenarnya ada apa? Satu orang saja yang bercerita biar Bapak jelas dengarnya”. Saya meminta mereka sambil memandanginya. Gina pun menghampiri saya, “Andre di fitnah Pak sama anak laki-laki. Di fitnah kalo tepak pensil satu kelas diumpetin di tasnya. Andre ga merasa karena selama istirahat saya lihat Andre bermain Voli. Tapi, anak laki-laki terus mendesak Andre agar mengakuinya”.
Mendengar cerita dari Gina, saya pun mengerenyitkan dahi. Segera mungkin saya pun menghela nafas panjang. “Siapa yang melakukan ini semua? Ayo mengaku....” Tanya saya dengan tenang. Datanglah Erik Sang ketua kelas menghampiri saya, “Saya enggak Pak...” dia berkata dengan wajah serius. Saya terus menenangkan Andre agar tak menangis terus. Berjalanlah saya ke depan kelas untuk berbicara kepada kelas 4. “Ayo siapa yang melakukan ini? Kalo ada yang mengakui kesalahannya berarti orang itu hebat, berani mengakui kesalahannya. Kalo tidak ada yang mengaku berarti orang itu jahat telah memfitnah teman sendiri sampe nangis sesegukan begitu. Kasihan tidak melihat Andre nangis di fitnah?” tanya saya kepada satu kelas. “Kasihaaaannn Pak..”. Mereka menjawab serentak. “Nah kalo kalian kasihan. Ayo jujur sama Bapak. Bapak tidak akan memarahinya. Bapak akan bangga kepada orang yang mau jujur dan mengakui kesalahnnya”. Saya meyakinkan mereka. Beberpa menit kelas 4 hening dan saling tatap satu sama lain. “Tidak ada yang berani mengaku nih?” tanya saya lagi. “Saya Pak mengaku...’’ Langsung saya tengok ke arah suara itu. Ternyata Erik Sang ketua kelas. Saya panggil dia ke depan kelas. “Benar Erik yang melakukan ini?’ sambil saya rangkul dia. “Iya Pak. Saya yang melakukan itu” dia meyakinkan saya dengan pengakuannya. Setelah Erik mengaku, akhirnya ke empat teman yang lainnya pun mengacungkan tangan dan berkata, “saya juga Pak... saya juga Pak.. saya juga Pak...”. Saya panggil semuanya ke depan kelas. Saya bariskan mereka (Dudung, yoyo, Panca, dan Respi) menghadap ke teman-temannya sambil saya rangkul semuanya agar mereka merasa nyaman untuk mengakui perbuatannya itu. “Kenapa kalian melakukan itu? Tidak kasihan melihat Andre sampe nangis sesegukan gitu?”
Awalnya mereka masih saling tunjuk satu sama lain kalo temanlah yang melakukan. “Sudah jangan saling tunjuk. Kalo terus saling tunjuk berarti kalian tetap tidak mengakui”. Mereka semuanya diam. Dudung akhirnya berani untuk berbicara dan menjelaskan kejadiannya, “Iya Pak kami berlima yang melakukan itu agar Andre malu sama teman-teman sekelas kalo dia sudah menyembunyikan tepak teman-teman dan menyembunyikannya di tas”. Mendengar pengakuan Dudung, hati saya sedih mereka melakukan itu kepada teman sekelasnya yang tak lain teman bermain mereka. Sebisa mungkin saya menahan marah saya depan mereka. “Kalian akan melakukan hal seperti ini lagi tidak?” tanya saya kepada mereka. “Tidak pak...”, mereka serentak menjawab. “Janji??” Mereka menjawab bersamaan, “Janji pak”. “Sekarang kalian hampiri Andre. Minta maaf dan ulurkan tangan kalian untuk Andre”. Selanjutnya anak-anak bertepuk tangan dengan riuh. “Nah, hari ini kita mendapatkan sebuah pelajaran berharga ya. Ternyata masih ada orang yang jujur untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Orang yang berani jujur mengakui kesalahannya itu hebat. Jangan diulangi lagi ya. Kasihan orang-orang yang kalian jaili apalagi sampe dijahati seperti itu. Mau kalian di fitnah oleh orang satu kampung? Tidak mau kan? Kalian bersaudara satu sama lain. Jangan saling ejek dan jangan saling menyakiti. Ketika ada masalah dengan teman atau di kelas, bicarakanlah semuanya baik-baik agar tidak terjadi sesuatu yang menyakitkan”. Anak-anak semuanya diam mendengarkan saya berbicara.
Kejadian tadi siang, semoga membukakan hati mereka untuk saling bergandeng tangan satu sama lain. Baru 2 bulan saya mengajar di sekolah ini. Saya merasa sangat dekat dengan anak-anak. Anak-anak begitu terbuka tentang apa yang mereka alami, walaupun saya hanya mengajar Penjas dan Bahasa Inggris tapi kedekatan itu seperti mereka dengan wali kelasnya. Semoga saya terus tersenyum tulus untuk menyayangi mereka. Suasana Kelas 4 ketika sedang ulangan Bahasa Inggris.
Pernah sekali ketika berdoa sebelum belajar, saya memergoki Andre tidur di kelas. “Pak Angyar, cepat masuk dan lihat Andre. Andre nangis di fitnah Pak”. Gina memanggil nama saya pas ketika saya di pintu kelas 4. Terlihat Andre sedang menundukan kepalanya dan menangis sesegukan. “Andre kenapa nangis?” tanya saya menghampirinya. Anak-anak satu kelas menimpali pertanyaan saya, “Andre di fitnah Pak, Andre di fitnah Pak....” Anak-anak satu kelas menimpali pertanyaan saya. Ramailah suasana kelas dengan suara jawaban mereka. “Coba semuanya diam, Bapak pengen tau jawaban dari Andre”. Saya mencoba menenangkan suasana. Saya terus tanya Andre tapi dia tetap menangis sesegukan dan tak terdengar sepatah katapun selain suara tangisannya itu. Saya pun meminta salah satu anak di kelas untuk menceritakan apa yang terjadi. “Coba Bapak pengen tau, sebenarnya ada apa? Satu orang saja yang bercerita biar Bapak jelas dengarnya”. Saya meminta mereka sambil memandanginya. Gina pun menghampiri saya, “Andre di fitnah Pak sama anak laki-laki. Di fitnah kalo tepak pensil satu kelas diumpetin di tasnya. Andre ga merasa karena selama istirahat saya lihat Andre bermain Voli. Tapi, anak laki-laki terus mendesak Andre agar mengakuinya”.
Mendengar cerita dari Gina, saya pun mengerenyitkan dahi. Segera mungkin saya pun menghela nafas panjang. “Siapa yang melakukan ini semua? Ayo mengaku....” Tanya saya dengan tenang. Datanglah Erik Sang ketua kelas menghampiri saya, “Saya enggak Pak...” dia berkata dengan wajah serius. Saya terus menenangkan Andre agar tak menangis terus. Berjalanlah saya ke depan kelas untuk berbicara kepada kelas 4. “Ayo siapa yang melakukan ini? Kalo ada yang mengakui kesalahannya berarti orang itu hebat, berani mengakui kesalahannya. Kalo tidak ada yang mengaku berarti orang itu jahat telah memfitnah teman sendiri sampe nangis sesegukan begitu. Kasihan tidak melihat Andre nangis di fitnah?” tanya saya kepada satu kelas. “Kasihaaaannn Pak..”. Mereka menjawab serentak. “Nah kalo kalian kasihan. Ayo jujur sama Bapak. Bapak tidak akan memarahinya. Bapak akan bangga kepada orang yang mau jujur dan mengakui kesalahnnya”. Saya meyakinkan mereka. Beberpa menit kelas 4 hening dan saling tatap satu sama lain. “Tidak ada yang berani mengaku nih?” tanya saya lagi. “Saya Pak mengaku...’’ Langsung saya tengok ke arah suara itu. Ternyata Erik Sang ketua kelas. Saya panggil dia ke depan kelas. “Benar Erik yang melakukan ini?’ sambil saya rangkul dia. “Iya Pak. Saya yang melakukan itu” dia meyakinkan saya dengan pengakuannya. Setelah Erik mengaku, akhirnya ke empat teman yang lainnya pun mengacungkan tangan dan berkata, “saya juga Pak... saya juga Pak.. saya juga Pak...”. Saya panggil semuanya ke depan kelas. Saya bariskan mereka (Dudung, yoyo, Panca, dan Respi) menghadap ke teman-temannya sambil saya rangkul semuanya agar mereka merasa nyaman untuk mengakui perbuatannya itu. “Kenapa kalian melakukan itu? Tidak kasihan melihat Andre sampe nangis sesegukan gitu?”
Awalnya mereka masih saling tunjuk satu sama lain kalo temanlah yang melakukan. “Sudah jangan saling tunjuk. Kalo terus saling tunjuk berarti kalian tetap tidak mengakui”. Mereka semuanya diam. Dudung akhirnya berani untuk berbicara dan menjelaskan kejadiannya, “Iya Pak kami berlima yang melakukan itu agar Andre malu sama teman-teman sekelas kalo dia sudah menyembunyikan tepak teman-teman dan menyembunyikannya di tas”. Mendengar pengakuan Dudung, hati saya sedih mereka melakukan itu kepada teman sekelasnya yang tak lain teman bermain mereka. Sebisa mungkin saya menahan marah saya depan mereka. “Kalian akan melakukan hal seperti ini lagi tidak?” tanya saya kepada mereka. “Tidak pak...”, mereka serentak menjawab. “Janji??” Mereka menjawab bersamaan, “Janji pak”. “Sekarang kalian hampiri Andre. Minta maaf dan ulurkan tangan kalian untuk Andre”. Selanjutnya anak-anak bertepuk tangan dengan riuh. “Nah, hari ini kita mendapatkan sebuah pelajaran berharga ya. Ternyata masih ada orang yang jujur untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Orang yang berani jujur mengakui kesalahannya itu hebat. Jangan diulangi lagi ya. Kasihan orang-orang yang kalian jaili apalagi sampe dijahati seperti itu. Mau kalian di fitnah oleh orang satu kampung? Tidak mau kan? Kalian bersaudara satu sama lain. Jangan saling ejek dan jangan saling menyakiti. Ketika ada masalah dengan teman atau di kelas, bicarakanlah semuanya baik-baik agar tidak terjadi sesuatu yang menyakitkan”. Anak-anak semuanya diam mendengarkan saya berbicara.
Kejadian tadi siang, semoga membukakan hati mereka untuk saling bergandeng tangan satu sama lain. Baru 2 bulan saya mengajar di sekolah ini. Saya merasa sangat dekat dengan anak-anak. Anak-anak begitu terbuka tentang apa yang mereka alami, walaupun saya hanya mengajar Penjas dan Bahasa Inggris tapi kedekatan itu seperti mereka dengan wali kelasnya. Semoga saya terus tersenyum tulus untuk menyayangi mereka. Suasana Kelas 4 ketika sedang ulangan Bahasa Inggris.
Komentar
Posting Komentar