Langsung ke konten utama

Gerakan Indonesia Mengajar (GIM): Menebar Mimpi ke Pelosok Desa

Erwin Puspaningtyas dengan laptopnya di rumah sederhana di Passau, Sulawesi Barat


Anak-anak muda itu memiliki hampir semua prasyarat untuk hidup nyaman dan sejahtera di kota. Namun, mereka memilih menjadi guru di pelosok-pelosok dusun negeri ini. Inilah kisah kaum muda yang berkomitmen untuk mencerdaskan rakyat.
Firman Budi Kurniawan (24) memindahkan gigi sepeda motornya ke gigi satu dan menarik gas dalam-dalam. Sepeda motor bebek itu pun melaju pelan meniti jalan setapak yang menanjak hampir 45 derajat. Suara knalpot yang tadinya menyalak tiba-tiba mengedan. Rintangan pertama dengan susah payah bisa dilalui, selanjutnya sepeda motor itu meluncur bagai roller coaster di jalan penuh batu besar.

Baru  satu jam kemudian tiba di sebuah dusun tanpa listrik di tengah hutan. Di antara pepohonan hutan, berdiri rumah-rumah panggung sederhana. Inilah Dusun Beroangin, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, tempat Firman tinggal dan bertugas sebagai guru sejak sepuluh bulan lalu.

Firman adalah sarjana Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung (ITB) yang bersedia bergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), sebuah gerakan nonpemerintah yang menantang para sarjana berprestasi mengabdi sebagai guru di daerah terpencil selama satu tahun.

Selain Firman, ada 50 sarjana berprestasi lainnya yang ditempatkan di pelosok dusun di Majene, Bengkalis (Riau), Tulang Bawang Barat (Lampung), Paser (Kalimantan Timur), dan Halmahera Selatan (Maluku Utara). Mereka disiapkan secara serius agar bisa hidup di daerah terpencil. Mereka juga dibekali teknik mengajar secara kreatif.


Firman Bk bersamanya murid-muridnya.

Erwin Puspitaningtyas Irjayanti (24), sarjana dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), ditempatkan di Passau. Dusun tanpa listrik itu menjorok 5 kilometer ke dalam hutan dari jalan poros Makassar-Mamuju. Suasana hutan begitu meraja. Suara kera dan lolongan anjing liar terdengar bersahutan hingga tengah malam.

Meski demikian, Wiwin—begitu dia disapa—masih menikmati beberapa ”kemewahan”. Setidaknya, di kampung itu ada sinyal telepon dan genset milik warga. Ketika genset itu dinyalakan, Wiwin bisa menumpang mengisi baterai laptop dan telepon selulernya.

”Kemewahan” itu tidak dinikmati Agung Firmansyah (24) yang bertugas di Dusun Manyamba, Majene. Sekadar untuk menelepon atau mengisi baterai, Agung harus turun gunung sejauh 6 kilometer ke permukiman di pinggir pantai melalui jalan terjal.


Jalanan kampung Tatibajo. Ujung jalannya tidak terlihat karena gelap. (Dusun tempat Agung Firmansyah mengajar)

Persoalan lain, tidak satu pun rumah di dusun itu yang memiliki fasilitas mandi, cuci, dan kakus. Alhasil, sarjana Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) itu pun harus membiasakan diri bangun pada pagi buta untuk mandi di Sungai Manyamba, yang sampai awal tahun 1980-an masih dihuni buaya.

Manusia Super

Kondisi alam hanya satu dari seabrek tantangan yang harus mereka taklukkan. Mereka juga harus menghadapi murid-murid yang tidak lancar membaca meski telah duduk di kelas III atau IV. Fasilitas sekolah juga amat minim.
Di tengah kondisi seperti itu, Firman mencoba membuat terobosan. Ia mengajak muridnya di SD 33 Battutala mendaki bukit Beroangin yang curam. Di bukit itu, ia mengajar Bahasa Inggris. ”Matahari… sun, langit… sky,” kata Firman sambil menunjuk matahari dan langit yang memerah di ufuk barat.

Di kelas VI SD 27 Titibajo, Agung mengajar Matematika dengan menggunakan kartu remi sebagai alat bantu pelajaran berhitung. Pelajaran itu menjadi terasa lebih mudah dan menyenangkan. Selain kartu remi, Agung juga kerap memanfaatkan benda-benda yang mudah ditemukan di sekitar dusun, seperti batu, pasir, kayu, sampai kompor sebagai alat peraga mata pelajaran IPA.

Tantangan lainnya, sejumlah warga dusun menganggap para guru muda itu ”manusia super” yang bisa melakukan apa saja. Firman beberapa kali dimintai tolong untuk mengobati orang yang digigit anjing gila. Lain waktu, dia diminta membetulkan mesin diesel, bahkan memberi nama bayi yang baru lahir. ”Saya dikira dukun sakti, ha-ha-ha,” ujarnya.
Wiwin pernah diminta mencari cara efektif untuk mengusir babi hutan. ”Seumur-umur, baru kali ini mikirin bagaimana mengusir babi hutan,” ujarnya.

Membangun mimpi

Anak-anak muda itu sebenarnya memiliki hampir semua prasyarat untuk hidup mapan di kota besar. Mereka punya prestasi akademik yang baik, jaringan, karier, dan penghasilan sangat lumayan.
Wiwin, misalnya, sebelumnya, adalah karyawan sebuah bank terkemuka. Penghasilannya per bulan belasan juta rupiah, bonus tahunan puluhan juta rupiah, dan punya kesempatan jalan-jalan ke luar negeri. Semua itu dia tinggalkan demi GIM.

Peserta GIM lainnya tidak kalah hebat. Sebagian ada yang bekerja di perusahaan multinasional atau telah mendapat beasiswa ke luar negeri. Lantas, mengapa mereka rela menanggalkan itu semua?

”Saya merasa, gerakan ini cocok dengan panggilan hati saya. Saya bercita-cita menjadi kaya raya agar bisa mendirikan sekolah buat orang tidak mampu. Sekarang belum kaya sudah bisa menolong,” ujar Wiwin.

Soleh Ahmad Nugraha, pengajar muda di Dusun Lombang, Malunda, melihat, program ini memungkinkan dia belajar dari kearifan orang desa. ”Ini (pendidikan) S-2 dari alam,” ujar sarjana Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran (Unpad) yang menanggalkan kariernya sebagai dosen demi GIM ini.


Sekolah tempat Soleh Ahmad Nugraha mengajar. (Disinilah kami mulai menantang dunia)

Agung ikut GIM karena ingin hidupnya bisa menginspirasi orang lain. ”Saya ingin membangkitkan mimpi tentang masa depan yang lebih baik kepada anak-anak di daerah terpencil,” katanya.

Penggagas GIM, Anies Baswedan, sepakat, mimpi untuk menjadi orang terdidik harus dibangkitkan hingga ke pelosok dusun yang keberadaannya sering kali diabaikan lantaran selama ini kita terlalu berorientasi ke kota.

”Mimpi itu penting. Ketika mereka punya mimpi jadi orang terdidik, mereka akan sekolah. Dan, kita sebagai orang terdidik punya tanggung jawab menularkan virus pengetahuan kepada mereka,” lanjutnya.

GIM memang belum banyak membuahkan hasil. Namun, setidaknya, kini, di sebuah dusun di tengah hutan Battutala, Aliman (32) bermimpi bisa menyekolahkan anak laki-lakinya hingga sarjana. ”Dia tidak boleh bodoh seperti saya,” katanya. Sebuah mimpi yang indah…


Sumber: Kompas

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Budi Kecil

…Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal… Lirik lagu milik Iwan Fals ini sering sekali terimajinasi oleh saya, dari suara vokal dan gitar yang dibawakan oleh Iwan Fals, atau pun dari suara teman-teman saya ketika bernyanyi bersama, dengan seadanya. Mulanya saya kira lagu ini berjudul ‘Anak Sekecil Itu’, maklum saja saya tak pernah mendengarnya melalui versi lengkap yang dinyanyikan Iwan Fals. Ternyata lagu ini berjudul ‘Sore Tugu Pancoran’. Tiap kali mendengar lagu ini, ada satu perasaan yang hadir menyelimuti hati saya, yaitu tragis. Kenapa? Karena lagu ini berkisah tentang anak kecil bernama Budi yang harus bekerja sebagai penjual koran sore di kawasan Pancoran, kalau tidak salah ini di kawasan Jakarta Selatan. Ia melakukannya demi tetap dapat bersekolah dan mengenyam pendidikan untuk menggapai cita-cita. Ironis sekali Iwan Fals me...

Pesan Untuk Nonoman Sunda

Nonoman Sunda! Pasundan teh lemah cai aranjeun! Aranjeun nu boga kawajiban ngabdi ka lemah cai, tapi gigireun ieu kawajiban anjeun ngabogaan hak pikeun hirup di tanah sorangan. Nonoman Sunda! Upama anjeun teu wekel ngasah awak, teu pemohalan, Nonoman Sunda di lemah caina teu kabagean alas, kapaksa kudu nyamos lantaran kalindih ku golongan sejen. Ku saba eta para Nonoman sunda, geuwat berunta, geuwat kukumpul tanaga jeung pakarang, nu diwangun ku kaweruh pangpangna adat tabeat nanu kuat, nyaeta: kawekelan, kadaek, kakeyeng, karep jeung kawanen. Geura rasakeun, pisakumahaeun teuing pinalang saeunana upama Nonoman Sunda ngan kabagean harkat kuli jeung jongos, paling negtog jadi jurutulis, cindekna ngan kabagean pangkat laladen, tur di bali ngeusan ngajadi sorangan. Aduh tobat, dugikeun ka kedah kitu mah, sing jauh ti tanah sunda, ka ditu ka sabrang. (Oto Iskandar Di Nata) Resapilah tulisan Oto Iskandar Di Nata dari tahun 1938. Beliau sangat sayang kalian, jau...

Cerita Kelas Empat

Cerita-cerita dari teman sesama pengajar benar-benar membuka mata saya akan apa yang sudah saya lakukan dan kerjakan selama mengajar. Banyak kekurangan di sana sini. Masih belum maksimal di beberapa aspek. Bahkan minim di satu, dua poin pengembangan. Kekurangan tak membuat saya kecewa. Justru saya kembali dengan banyak bahan evaluasi dan perbaikan ke depan. Dalam beberapa sesi diskusi, agaknya saya mesti bersyukur diberi kepercayaan mengajarkan kelas rendah. Buat saya, kelas empat adalah sebuah transisi. Proses perubahan pemikiran anak-anak dari yang sebelumnya belajar materi-materi sederhana ke materi-materi yang jauh lebih serius dan rumit. Jam belajarnya pun bertambah. Banyak teman mengeluhkan anak murid mereka yang belum lancar membaca dan mengingat hurf-huruf bahasa Inggris. Jelas, di kelas saya pun masih ada yang belum bisa membaca dan menghapal huruf-huruf dalam Bahasa Inggris. Tapi saya tak mengejar terlampau jauh ke belakang. Bayangkan di kelas 4 dengan materi s...