Langsung ke konten utama

Inget Mamak

Mamak (Ibu) saya shalatnya rajin. Saya sendiri kalau kemana-mana pasti minta do’a restu Mamak saya. Misalkan, sebelum berangkat ke sekolah, kemanapun saya pergi, jadi anak kecil lagi. Tapi, itu memberikan kenyamanan buat saya. Nggak tahu Tuhan kerjanya kayak gimana ya. Tapi saya percaya, setiap kali saya minta restu, saya terlindungi. Itu mulai hal yang kecil, misalnya saya mau sekolah, “Mak, doa keun nya... Mak, doa keun nya... Mak, doa keun nya!” (Ibu doa kan, red). Itu berkali-kali sampai sekarang.

Kalau menurut saya, hati saya ini hati Mamak saya. Saya nggak sekuat Bapak saya. Bapak saya itu orang yang tough. Tapi, kalau saya, hati saya itu lemah banget seperti Mamak saya. Tapi, kuat. Bayangin, ini orang tidak lulus SD, punya anak, tiba-tiba punya cita-cita anaknya kuliah. Menurut saya itu nggak masuk akal dulu. Tapi, ini membuktikan kalau Mamak saya secara pendidikan nggak tinggi, tapi secara intelektual tercerahkan. Dan, itu jarang-jarang. Mamak saya berpikir panjang bahwa ‘hey you know what?’ kata Mamak saya hidupnya susah, dia nggak mau hidup anaknya susah seperti dia. Caranya apa? Pendidikan. That’s it. Apalagi yang kita punyai selain pendidikan? Nggak ada. Makanya saya bilang ke anak-anak di kelas, ‘The only way to get out from poverty is education’. Apalagi? Saya masih belum menemukan jawabannya. Pendidikan dan kerja keras. Memang, bahwa dengan kerja keras memungkin untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Lewat pendidikan dan lewat keluarga yang hangat. Selalu ingat satu kata yang diucapkan Mamak saya cuma gini. “Hidup kita ini susah”. Tapi, intinya apa? Dia melihat hidupnya bukan penderitaan, tapi perjuangan.

Jadi, intinya gitu. Jalani hidup sebagai perjuangan, bukan penderitaan. Setiap kali saya berbicara di depan kelas atau berbicara santai dengan anak-anak. Saya nggak mau menjanjikan mimpi-mimpi. Agar anak-anak meraih mimpi yang tinggi. Nggak. Tapi, mereka harus tough. Kalau hidup keras, lo harus bisa lebih keras lagi. Dan, family itu paling penting. Kita nggak bisa maju sendiri. Harus gandengan ramai-ramai. Mau seneng, mau sedih, gandengan ramai-ramai. Bakal kuat bareng. Kembali ke rumah. Bahagiain keluarga lo. Intinya apa? Indonesia mau maju kalau keluarganya maju. Keluarga mau maju kalau lo maju. Makanya, lo (kita) harus maju!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Budi Kecil

…Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal… Lirik lagu milik Iwan Fals ini sering sekali terimajinasi oleh saya, dari suara vokal dan gitar yang dibawakan oleh Iwan Fals, atau pun dari suara teman-teman saya ketika bernyanyi bersama, dengan seadanya. Mulanya saya kira lagu ini berjudul ‘Anak Sekecil Itu’, maklum saja saya tak pernah mendengarnya melalui versi lengkap yang dinyanyikan Iwan Fals. Ternyata lagu ini berjudul ‘Sore Tugu Pancoran’. Tiap kali mendengar lagu ini, ada satu perasaan yang hadir menyelimuti hati saya, yaitu tragis. Kenapa? Karena lagu ini berkisah tentang anak kecil bernama Budi yang harus bekerja sebagai penjual koran sore di kawasan Pancoran, kalau tidak salah ini di kawasan Jakarta Selatan. Ia melakukannya demi tetap dapat bersekolah dan mengenyam pendidikan untuk menggapai cita-cita. Ironis sekali Iwan Fals me...

Stop Mengeluh, Lakukan Perubahan!

Stop mengeluh dan mulai lakukan perubahan - sekecil apapun itu - untuk Indonesia yang lebih baik Banyak dari kita yang sering mengeluh mengenai berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia dan mempengaruhi hidup kita sehari-hari. MACET. BANJIR. KEMISKINAN. KEJAHATAN. KORUPSI dan masih banyak lagi. Twitter dan Facebook jadi sasaran tempat kita mengeluh dan bahkan memaki. Tapi, sudahkah kita bertanya pada diri sendiri perubahan apa yang telah kita lakukan, sekecil apapun, untuk menjadikan negeri ini lebih baik? Perubahan besar dapat dimulai dengan hal yang sederhana. Perubahan besar itu dapat terjadi jika ada perubahan-perubahan kecil - DIMULAI DARI DIRIMU.

Ke-Indonesia-an

Filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), pernah mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang terjadi adalah konflik. Ditambah ketidakmampuan (ataukah ketidakmauan?) pemimpin menegakkan hukum, maka yang muncul adalah kerusuhan di Ambon, Poso, dan Tuban, pascareformasi. Eforia reformasi dengan ingar bingar demokratisasi, desentralisasi, dan de-korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)-isasi ternyata di sisi lain mengabaikan identitas politik, ideologi, dan budaya Indonesia. Yang muncul adalah konflik komunal dan bangkitnya ”massa” sebagai kekuatan represif— menggantikan keotoriteran Orde Baru—yang melahirkan kerusuhan dan kekerasan dengan jubah agama. Tidak jujur Semua barangkali berpangkal dari ketidakjujuran mengurus bangsa. Kesadaran sebagai bangsa Indonesia memang baru mencuat pada awal 1920-an, berkat jasa politik kultural yang teramat besar dari Perhimpunan Indone...