Langsung ke konten utama

Pagi Ini: Bukan Suami Biasa

Pagi-pagi sekali, tepatnya mungkin subuh ini, saya sudah dapat sebuh cerita dari 'Dia' tentang pasiennya yang akan melahirkan tapi masih tahap pembukaan 1 & 2 (katanya sih sampe pembukaan 10 untuk dapat melahirkan). Pasien ini dirawat di Poned (Puskesmas -red). Seorang ibu yang sedang berjuang melahirkan anaknya. Sudah dua hari pasien tersebut dirawat di Poned tapi tahapannya masih pembukaan dua saja. Dua hari pula suaminya menjaga dengan setia. Tak ada anggota keluarga lain menunggu pasien tersebut. Hanya pasien dan suaminya saja. Biasanya tak jarang kalau ada pasien yang dirawat banyak anggota keluarga yang menunggu. Tapi, pasien ini hanya suaminya yang setia menunngu.

Selama dua hari itu suaminya hanya tidur di lantai tanpa sebuah tikar sebagai alas tidurnya, istrinya terus dielusnya karena terlihat terus kesakitan. Suami tersebut berjuang penuh tanggung jawab mendampingi istrinya melahirkan. Ya. Penuh tanggung jawab. Untuk mengambil uang di ATM yang jaraknya sekitar 1 KM dari Poned, sang suami berjalan kaki karena tidak ada kendaraan motor ataupun sepeda di Poned. Berarti suami tersebut bolak balik jalan kaki sejauh 2 KM. Suami yang begitu setia. Karena tak tega melihat istrinya, akhirnya sang suami meminta kepada bidan di Poned untuk merujuk istrinya ke klinik yang ditangani dokter spesialis kandungan. Karena di Poned tersebut tidak ada dokter spesialis kandungan. Akhirnya, dirujuklah pasien tersebut ke klinik. Kata Dia, suami pasien baik sekali. Semua bidan di Poned yang merujuk istrinya dihargai sekali. Sampai sudah merujuk pun suaminya terus mengucapkan terima kasih.

Jarang sekali pasien yang seperti ini. Bukan suami biasa. Suami yang hebat, itulah kata-kata yang terucap dari saya. Bahkan, bukan hanya sekedar suami hebat tapi suami yang menginspirasi. Saya rasa ini sebuah pembelajaran untuk semua suami dan laki-laki. Bukankah kita harus seperti itu? Melindungi dan menjaga wanita yang kita cintai dengan penuh tanggung jawab dan ketulusan.

Semoga kita termasuk orang seperti itu. Aamiin. Mari kita berdoa untuk Si Ibu yang sedang berjuang melahirkan anaknya itu. Semoga dia melahirkan dengan selamat dan anaknya terlahir sehat. Aamiin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Budi Kecil

…Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal… Lirik lagu milik Iwan Fals ini sering sekali terimajinasi oleh saya, dari suara vokal dan gitar yang dibawakan oleh Iwan Fals, atau pun dari suara teman-teman saya ketika bernyanyi bersama, dengan seadanya. Mulanya saya kira lagu ini berjudul ‘Anak Sekecil Itu’, maklum saja saya tak pernah mendengarnya melalui versi lengkap yang dinyanyikan Iwan Fals. Ternyata lagu ini berjudul ‘Sore Tugu Pancoran’. Tiap kali mendengar lagu ini, ada satu perasaan yang hadir menyelimuti hati saya, yaitu tragis. Kenapa? Karena lagu ini berkisah tentang anak kecil bernama Budi yang harus bekerja sebagai penjual koran sore di kawasan Pancoran, kalau tidak salah ini di kawasan Jakarta Selatan. Ia melakukannya demi tetap dapat bersekolah dan mengenyam pendidikan untuk menggapai cita-cita. Ironis sekali Iwan Fals me...

Stop Mengeluh, Lakukan Perubahan!

Stop mengeluh dan mulai lakukan perubahan - sekecil apapun itu - untuk Indonesia yang lebih baik Banyak dari kita yang sering mengeluh mengenai berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia dan mempengaruhi hidup kita sehari-hari. MACET. BANJIR. KEMISKINAN. KEJAHATAN. KORUPSI dan masih banyak lagi. Twitter dan Facebook jadi sasaran tempat kita mengeluh dan bahkan memaki. Tapi, sudahkah kita bertanya pada diri sendiri perubahan apa yang telah kita lakukan, sekecil apapun, untuk menjadikan negeri ini lebih baik? Perubahan besar dapat dimulai dengan hal yang sederhana. Perubahan besar itu dapat terjadi jika ada perubahan-perubahan kecil - DIMULAI DARI DIRIMU.

Ke-Indonesia-an

Filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), pernah mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang terjadi adalah konflik. Ditambah ketidakmampuan (ataukah ketidakmauan?) pemimpin menegakkan hukum, maka yang muncul adalah kerusuhan di Ambon, Poso, dan Tuban, pascareformasi. Eforia reformasi dengan ingar bingar demokratisasi, desentralisasi, dan de-korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)-isasi ternyata di sisi lain mengabaikan identitas politik, ideologi, dan budaya Indonesia. Yang muncul adalah konflik komunal dan bangkitnya ”massa” sebagai kekuatan represif— menggantikan keotoriteran Orde Baru—yang melahirkan kerusuhan dan kekerasan dengan jubah agama. Tidak jujur Semua barangkali berpangkal dari ketidakjujuran mengurus bangsa. Kesadaran sebagai bangsa Indonesia memang baru mencuat pada awal 1920-an, berkat jasa politik kultural yang teramat besar dari Perhimpunan Indone...