Cerita-cerita dari teman sesama pengajar benar-benar membuka mata saya akan apa yang sudah saya lakukan dan kerjakan selama mengajar. Banyak kekurangan di sana sini. Masih belum maksimal di beberapa aspek. Bahkan minim di satu, dua poin pengembangan. Kekurangan tak membuat saya kecewa. Justru saya kembali dengan banyak bahan evaluasi dan perbaikan ke depan.
Dalam beberapa sesi diskusi, agaknya saya mesti bersyukur diberi kepercayaan mengajarkan kelas rendah. Buat saya, kelas empat adalah sebuah transisi. Proses perubahan pemikiran anak-anak dari yang sebelumnya belajar materi-materi sederhana ke materi-materi yang jauh lebih serius dan rumit. Jam belajarnya pun bertambah.
Banyak teman mengeluhkan anak murid mereka yang belum lancar membaca dan mengingat hurf-huruf bahasa Inggris. Jelas, di kelas saya pun masih ada yang belum bisa membaca dan menghapal huruf-huruf dalam Bahasa Inggris. Tapi saya tak mengejar terlampau jauh ke belakang. Bayangkan di kelas 4 dengan materi sangat banyak, guru dipaksa mengajarkan A B C.
Dari sesi diskusi itu juga, saya tahu murid-murid saya brilian. Dibanding teman-teman lain, tentu saja. Andai saja saya bisa memilih 15 orang terbaik di kelas, saya yakin bisa mengakselerasikan mereka. Mereka punya potensi besar. Sayangnya, potensi itu baru terbentuk sekarang. 15 orang itu mampu menyerap materi-materi bahasa Inggris dengan sangat baik. Shellomita bahkan hampir menguasai semua materi bahasa Inggris. Memiliki kemampuan berbahasa di atas rata-rata. Saya sangat takjub dan bersyukur.
Murid di kelas saya ada 39 orang. Kelas yang besar jika dibandingkan kelas-kelas lainnya. Kemampuan mereka memang tidak merata. Ada yang pintar sekali, ada juga yang masih sangat pemalu dan meraba-raba pelajaran. Meskipun begitu, tingkat kehadiran mereka rata-rata 90%. Sebuah peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Saya tentu tidak bisa membedakan setiap murid di kelas. Semuanya harus mendapatkan porsi yang sama dalam pelajaran. Biarpun beberapa tak bisa membaca, tetap diberikan materi yang sama dengan anak-anak lain. Kekurangan mereka hanya belum bisa membaca. Seandainya bisa, mereka akan mengerti seperti teman-teman lain. Oleh karena itu, dalam setiap pelajaran bahasa, saya selalu menyisipkan sesi membaca bebas dengan memanggil mereka ke depan satu per satu.
Kedisiplinan mereka juga sangat baik. Hampir tak ada lagi yang kotek-kotek (mukul meja) di kelas. Berbicara tidak sopan. Ribut yang berlebihan. Sistem pendekatan dengan rasa sayang dan menyanyikan lagu wajib nasional di depan kelas agaknya memang efektif dengan anak-anak ini. Begini, jika ada seorang anak yang mendapat nilai jelak, tidak bisa mengerjakan soal, tidak berani ke depan, atau berkelakuan yang sangat tidak baik, saya akan mencoba cara pendekatan dengan nasihat. Setiap melakukan peruabahan ke arah yang lebih baik, saya akan menyanjungnya dengan perubahan yang telah dia lakukan. Menyanyikan lagu wajib nasional bagi yang melakukan kotek-kotek (memukul meja).
Dede Rianto, anak yang saya jumpai sangat nakal karena sering tidak kembali ke sekolah selepas istirahat dan sering tidak mendengar nasehat saya. Kini dia menjadi salah satu dari 15 anak potensial di kelas empat. Sekarang, dia lebih nurut apa yang saya omongin dan ke pelajaran pun perkembangannya luar biasa. Dia selalu kembali ke kelas sehabis istirahat. Suatu waktu saya tanya mengapa dia berubah, “Saya ingin mengejar cita-cita impian saya.”
Deden, salah satu anak yang nakal dan malas di kelas empat. Jarang masuk Dan kalaupun masuk, tak pernah kembali setelah istirahat. Penyakit menular memang. Saya menanyakan ke dia kenapa dia seperti ini. Dia menjawab, “puyeng dan males, Pak!” saya pun tidak pernah bosan untuk menasehatinya dan sekarang dia lebih rajin dan nurut dengan nasihat-nasihat saya.
Meskipun begitu, tak semuanya berjalan sempurna. Peraturan dan euforia kelas tak benar-benar merasuk ke setiap murid. Ada satu, dua orang yang masih sedikit tersentuh perubahan.
sekarang saya baru mengenal Saeful, anak yang terlihat paling diem tapi sikap-sikapnya luar biasa jauh dari kesopanan, bapaknya sendiri pun pernah dia sumpahi mati. Jarang mengerjakan tugas dan tak pernah mengerjakan PR. Saya benar-benar tak bisa menyalahkan anak ini. Keluarganya tak mendukung anak ini untuk belajar. Sekarang saya masih belum bisa berbuat banyak kepadanya tapi semoga suatu hari nanti dia bisa tersentuh.
Dandi, salah satu anak yang paling maximal perubahannya. Walaupun dia sering masuk ke kelas, tapi dia seperti tak mendapat apa-apa. Mengeja huruf bahasa Inggris pun masih sulit. Tapi semangat dia untuk belajar sangat luar biasa sehingga sedikit demi sedikit dia mulai menuju perubahan yang maju.
Ketika orang tua tak peduli dengan pendidikan anak-anaknya, tugas saya beratus kali lebih berat. Saya tak lepas tangan. Hanya saja, saya tak mungkin memberikan perlakuan istimewa pada satu dua orang murid. Jam sekolah amat terbatas. Kemudian kelas lain sangat mungkin tak ada guru sehingga saya harus bolak balik mengajarkan mereka juga.
Pernah suatu ketika untuk mengisi kekosongan guru, saya mengadakan cerdas cermat antara kelas 4 dan 6. Saya mengundang murid-murid yang dianggap pintar di kelas 4 dan 6 untuk beradu cepat menjawab pertanyaan bahasa Inggris dan ilmu pengetahuan.
Anak kelas empat melaju cepat dengan mendapatkan 700 poin dengan soal bahasa Inggrisnya. Begitu juga dengan ilmu pengetahuannya. Anak-anak kelas empat mampu menjawab lebih cepat dan tepat dari kelas 6.
Cerdas cermat pun berakhir dengan kelas empat sebagai pemenang. Mereka mendapatkan nilai 2300. Meninggalkan kakak-kakaknya dengan nilai 1200.
Tidak ada murid yang bodoh di dunia ini. Yang ada hanya guru yang buruk. Yang tak mampu menaikkan dan mengembangkan potensi anak didiknya.
Setiap murid pasti punya kelebihan masing-masing. Tinggal pintar-pintar guru mencari celah bagaimana mengasah kemampuan mereka. Bagaimana membuat mereka menganggap belajar adalah hal yang membawa keceriaan. Belajar adalah kebutuhan.
Ketika murid sudah merasa ingin pintar, maka guru berhasil dalam satu poin. Merealisasikan mereka menjadi pintar tentu poin yang berbeda.
Saya selalu menanamkan pada anak-anak, menjadi pintar bukanlah tujuan satu-satunya. Mereka harus punya sikap dan perilaku yang baik. Jadilah anak yang berguna minimal untuk keluarganya. Walaupun saya menganggap mereka masih terlalu kecil untuk mendapat nasihat seperti itu, I did that anyway. In case someday when they are mature enough, they remember what their teacher had told them.
Dalam beberapa sesi diskusi, agaknya saya mesti bersyukur diberi kepercayaan mengajarkan kelas rendah. Buat saya, kelas empat adalah sebuah transisi. Proses perubahan pemikiran anak-anak dari yang sebelumnya belajar materi-materi sederhana ke materi-materi yang jauh lebih serius dan rumit. Jam belajarnya pun bertambah.
Banyak teman mengeluhkan anak murid mereka yang belum lancar membaca dan mengingat hurf-huruf bahasa Inggris. Jelas, di kelas saya pun masih ada yang belum bisa membaca dan menghapal huruf-huruf dalam Bahasa Inggris. Tapi saya tak mengejar terlampau jauh ke belakang. Bayangkan di kelas 4 dengan materi sangat banyak, guru dipaksa mengajarkan A B C.
Dari sesi diskusi itu juga, saya tahu murid-murid saya brilian. Dibanding teman-teman lain, tentu saja. Andai saja saya bisa memilih 15 orang terbaik di kelas, saya yakin bisa mengakselerasikan mereka. Mereka punya potensi besar. Sayangnya, potensi itu baru terbentuk sekarang. 15 orang itu mampu menyerap materi-materi bahasa Inggris dengan sangat baik. Shellomita bahkan hampir menguasai semua materi bahasa Inggris. Memiliki kemampuan berbahasa di atas rata-rata. Saya sangat takjub dan bersyukur.
Murid di kelas saya ada 39 orang. Kelas yang besar jika dibandingkan kelas-kelas lainnya. Kemampuan mereka memang tidak merata. Ada yang pintar sekali, ada juga yang masih sangat pemalu dan meraba-raba pelajaran. Meskipun begitu, tingkat kehadiran mereka rata-rata 90%. Sebuah peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Saya tentu tidak bisa membedakan setiap murid di kelas. Semuanya harus mendapatkan porsi yang sama dalam pelajaran. Biarpun beberapa tak bisa membaca, tetap diberikan materi yang sama dengan anak-anak lain. Kekurangan mereka hanya belum bisa membaca. Seandainya bisa, mereka akan mengerti seperti teman-teman lain. Oleh karena itu, dalam setiap pelajaran bahasa, saya selalu menyisipkan sesi membaca bebas dengan memanggil mereka ke depan satu per satu.
Kedisiplinan mereka juga sangat baik. Hampir tak ada lagi yang kotek-kotek (mukul meja) di kelas. Berbicara tidak sopan. Ribut yang berlebihan. Sistem pendekatan dengan rasa sayang dan menyanyikan lagu wajib nasional di depan kelas agaknya memang efektif dengan anak-anak ini. Begini, jika ada seorang anak yang mendapat nilai jelak, tidak bisa mengerjakan soal, tidak berani ke depan, atau berkelakuan yang sangat tidak baik, saya akan mencoba cara pendekatan dengan nasihat. Setiap melakukan peruabahan ke arah yang lebih baik, saya akan menyanjungnya dengan perubahan yang telah dia lakukan. Menyanyikan lagu wajib nasional bagi yang melakukan kotek-kotek (memukul meja).
Dede Rianto, anak yang saya jumpai sangat nakal karena sering tidak kembali ke sekolah selepas istirahat dan sering tidak mendengar nasehat saya. Kini dia menjadi salah satu dari 15 anak potensial di kelas empat. Sekarang, dia lebih nurut apa yang saya omongin dan ke pelajaran pun perkembangannya luar biasa. Dia selalu kembali ke kelas sehabis istirahat. Suatu waktu saya tanya mengapa dia berubah, “Saya ingin mengejar cita-cita impian saya.”
Deden, salah satu anak yang nakal dan malas di kelas empat. Jarang masuk Dan kalaupun masuk, tak pernah kembali setelah istirahat. Penyakit menular memang. Saya menanyakan ke dia kenapa dia seperti ini. Dia menjawab, “puyeng dan males, Pak!” saya pun tidak pernah bosan untuk menasehatinya dan sekarang dia lebih rajin dan nurut dengan nasihat-nasihat saya.
Meskipun begitu, tak semuanya berjalan sempurna. Peraturan dan euforia kelas tak benar-benar merasuk ke setiap murid. Ada satu, dua orang yang masih sedikit tersentuh perubahan.
sekarang saya baru mengenal Saeful, anak yang terlihat paling diem tapi sikap-sikapnya luar biasa jauh dari kesopanan, bapaknya sendiri pun pernah dia sumpahi mati. Jarang mengerjakan tugas dan tak pernah mengerjakan PR. Saya benar-benar tak bisa menyalahkan anak ini. Keluarganya tak mendukung anak ini untuk belajar. Sekarang saya masih belum bisa berbuat banyak kepadanya tapi semoga suatu hari nanti dia bisa tersentuh.
Dandi, salah satu anak yang paling maximal perubahannya. Walaupun dia sering masuk ke kelas, tapi dia seperti tak mendapat apa-apa. Mengeja huruf bahasa Inggris pun masih sulit. Tapi semangat dia untuk belajar sangat luar biasa sehingga sedikit demi sedikit dia mulai menuju perubahan yang maju.
Ketika orang tua tak peduli dengan pendidikan anak-anaknya, tugas saya beratus kali lebih berat. Saya tak lepas tangan. Hanya saja, saya tak mungkin memberikan perlakuan istimewa pada satu dua orang murid. Jam sekolah amat terbatas. Kemudian kelas lain sangat mungkin tak ada guru sehingga saya harus bolak balik mengajarkan mereka juga.
Pernah suatu ketika untuk mengisi kekosongan guru, saya mengadakan cerdas cermat antara kelas 4 dan 6. Saya mengundang murid-murid yang dianggap pintar di kelas 4 dan 6 untuk beradu cepat menjawab pertanyaan bahasa Inggris dan ilmu pengetahuan.
Anak kelas empat melaju cepat dengan mendapatkan 700 poin dengan soal bahasa Inggrisnya. Begitu juga dengan ilmu pengetahuannya. Anak-anak kelas empat mampu menjawab lebih cepat dan tepat dari kelas 6.
Cerdas cermat pun berakhir dengan kelas empat sebagai pemenang. Mereka mendapatkan nilai 2300. Meninggalkan kakak-kakaknya dengan nilai 1200.
Tidak ada murid yang bodoh di dunia ini. Yang ada hanya guru yang buruk. Yang tak mampu menaikkan dan mengembangkan potensi anak didiknya.
Setiap murid pasti punya kelebihan masing-masing. Tinggal pintar-pintar guru mencari celah bagaimana mengasah kemampuan mereka. Bagaimana membuat mereka menganggap belajar adalah hal yang membawa keceriaan. Belajar adalah kebutuhan.
Ketika murid sudah merasa ingin pintar, maka guru berhasil dalam satu poin. Merealisasikan mereka menjadi pintar tentu poin yang berbeda.
Saya selalu menanamkan pada anak-anak, menjadi pintar bukanlah tujuan satu-satunya. Mereka harus punya sikap dan perilaku yang baik. Jadilah anak yang berguna minimal untuk keluarganya. Walaupun saya menganggap mereka masih terlalu kecil untuk mendapat nasihat seperti itu, I did that anyway. In case someday when they are mature enough, they remember what their teacher had told them.
Komentar
Posting Komentar