Langsung ke konten utama

Peringatan Pada Pemimpin

Rekan-rekan Facebook yang baik, tulisan saya di bawah ini terdapat pada Harian Kompas, Senin 25 Juli 2011, Halaman 6 pada Rubrik Opini. Terima kasih

Salam hangat
Anies Baswedan
---------
Peringatan Pada Pemimpin
Oleh Anies Baswedan*

Makin hari kegalauan itu tumbuh makin pesat. Tapi berhentilah mengatakan bangsa ini bobrok. Hentikan tudingan bahwa bangsa ini tenggelam. Tidak, bangsa ini sedang bangkit dan akan makin tinggi berdirinya.

Lihatlah rakyat di sana-sini, bangun sebelum pagi, penuhi pasar rakyat, padati jalan dan kelas menyongsong kehidupan. Dengan sinar lampu apa adanya, mereka coba sinari masa depan sebisanya. Petani, guru, nelayan, pedagang, atau tentara di tepian republik jalani hidup berat penuh tanggung-jawab. Di tengah kepulan polusi pekat, rakyat kota menyelempit mencari masa depan. Mereka rebut peluang, jalani segala kesulitan tanpa pidato keprihatinan. Rakyat yang tegar dan tangguh. Denyut geraknya membanggakan.

Kegalauan republik ini bukan bersumber pada rakyat tapi pada pengurus negara yang seakan berjalan tanpa target. Deretan agenda penting dan urgen jadi wacana tapi tidak kunjung jadi realita.
Pengurus republik sukses membangun kekesalan kolektif, tanam bibit pesimisme. Pimpinan kini menuai kekecewaan. Harapan, kepercayaan, pengertian, toleransi, kesabaran dan permakluman rakyat pada pemimpin dikuras terus. Apakah dikira stok permakluman itu tanpa batas?

Dengan hormat saya sampaikan: stok itu ada batasnya dan sudah menipis. Semua ingin lihat hasil. Tak mau lagi dengar keluh kesah, tak hendak dengar kata prihatin keluar dari pemimpin. Republik ini perlu pemimpin yang hadir untuk menggelorakan percaya-diri, bukan menularkan keprihatinan. Pemimpin tak boleh kirim ratapan, pemimpin harus kirim harapan.

*****

Hari ini Indonesia memasuki era demokrasi etape ketiga. Kepresidenan periode kedua. Tidak pernah ada dalam sejarah republik ini, seorang anak bangsa dipilih jadi pemimpin dng suara sebanyak saat Presiden Yudhoyono di tahun 2009. Semua persyaratan utk melakukan dan menuntaskan langkah-langkah besar ada disana. Tapi mana langkah besar itu: infrastruktur ekonomi? Kepastian hukum? Integritas di sekolah? Tegas pada pengemplang pajak? Pemangkasan benalu APBN? Konsistensi kebijakan? Reformasi birokrasi? Jaminan kebhinekaan bangsa? Perlindungan warga bangsa?
Harapan yang tinggi untuk membereskan agenda penting baru sebatas pidato dan wacana. Republik perlu realita. Pemerintah memang punya capaian tapi jika ada keberanian untuk gelontorkan terobosan-terobosan besar di sektor penting maka capaian itu akan melonjak. Kekecewaan tumbuh bukan semata karena pemerintah tak membawa hasil tapi karena terlalu banyak peluang terobosan dan perubahan yang disia-siakan. Sebutlah soal energi atau infrastruktur sistem logistik (jalan, pelabuhan, bandara dll), terobosan disini bisa membuat ekonomi melejit. Atau terobosan besar dalam penegakan hukum. Perusak kebhinekaan didiamkan, pengemplang pajak tak dijerat. Hukum tegak kokoh tanpa kompromi bagi rakyat kecil, tapi hukum loyo-lunglai di depan rakyat besar. Ini semua dampak absennya keberanian menerobos. Semua serba ala kadarnya. Amunisi politik yang dahsyat itu tak digunakan. Republik ini butuh pemimpin yang mau turun ke lapangan, pemimpin kerja bukan pemimpin upacara. Rakyat tidak perlu pengumuman hasil rapat, tapi ingin lihat implementasinya.

Lihat sejarah kita, gamblang sekali. Republik ini didirikan oleh orang-orang yang berintegritas. Integritas itu membuat mereka jadi pemberani dan tak gentar hadapi apapun. Bukan pencitraan tapi integritas dan keseharian yang apa adanya membuat mereka mempesona. Mereka jadi cerita teladan di seantero negeri. Kini republik membutuhkan pemimpin yang berani tegakkan integritas, berani perangi “jual-beli” kebijakan dan jabatan. Pemimpin yang mau bertindak tegas melihat APBN untuk rakyat “dijarah” oleh mereka yang punya akses. Pemimpin yang bernyali menebas penyeleweng tanpa pandang posisi atau partai, dan bukan pemimpin yang serba mendiamkan seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
Republik ini perlu pemimpin yang mendorong yang macet. Membongkar yang buntu. Memangkas yang berbenalu. Pemimpin yang tanggap memutuskan, cepat bertindak dan tidak toleran pada keterlambatan. Pemimpin yang siap utk “lecet-lecet”, melawan status-quo yang merugikan rakyat, berani bertarung untuk melunasi tiap janjinya. Pemimpin yang mempesona bukan saja saat dilihat dari jauh. Tapi pemimpin yang justru lebih mempesona dari dekat dan saat kerja bersama.
Bukan pemimpin yang selalu enggan memutuskan dan suka limpahkan kesalahan. Bukan pemimpin yang diam saat rakyat didera, lembek saat republik dihardik negara tetangga, tapi lantang dan keras justru saat diri pribadinya atau keluarganya tersentuh. Pemimpin yang tak gentar dikatakan mengintervensi, karena mengintervensi adalah bagian dari tugas pemimpin dan pembiaran tidak boleh masuk dalam daftar tugas seorang pemimpin.
Bila Presiden Yudhoyono tidak segera merubah cara menjalankan pemerintahan maka saya harus mengingatkan bahwa bangsa Indonesia bisa memasuki persimpangan jalan yang berbahaya. Jalan pertama adalah meneruskan kepemimpinan sampai di 2014 agar proses demokrasi berjalan normal tapi rakyat mencicipi hasil yang ala kadarnya, deretan peluang kemajuan hilang tanpa bekas. Keterlambatan dan pembiaran jadi ciri beberapa tahun ke depan. Bahkan lunglainya penegakan hukum adalah resep mujarab menuju negara kacau.
Jalan kedua yang mulai menyeruak. Jalan berbahaya tapi suara ini mulai berkembang sebagai respon atas kelambatan dan pembiaran sistemik ini: berhenti di tengah jalan dan berikan pada orang lain untuk memimpin. Suara macam ini bisa merusak pranata siklus demokrasi yang dibangun dengan sangat susah payah. Suara ini tumbuh karena keyakinan bahwa lewat jalan terjal ini bisa terjadi pembongkaran atas pembiaran dan kelambanan; agar rakyat tak dirugikan terus menerus.
*****
Semua tahu, sistem Presidensial menjamin presiden bisa bekerja sebagai eksekutor pemerintahan dan melindungi-nya agar tidak dapat diberhentikan oleh alasan politis. Hari ini yang dihadapi Indonesia situasi yang sebaliknya. Periode dijamin aman oleh konstitusi tetapi presiden tak optimal jalankan otoritasnya. Keterlambatan berjejer dan pembiaran berderet. Periode fixed 5 tahun itu bukan mengamankan agar kerja cepat, kini malah jadi penyandera bangsa dari gerak kemajuan cepat.
Memang presiden bukan dewa atau superman. Tidak pantas seluruh masalah ditumpahkan ke pundak pemimpin. Tetapi, presiden bisa menentukan suasana republik. Pemimpin adalah dirigen yang menghadirkan energi, nuansa, dan aurora di republik ini. Pemimpin bisa fokus menguraikan masalah strategis dan urgen bagi percepatan pelunasan janji-janjinya.

Presiden Yudhoyono harus sadar bahwa caranya menjalankan pemerintahan itu memiliki efek tular. Kelugasan, ketegasan, keberanian, kecepatan, keterbukaan, kewajaran, kemauan buat terobosan, dan perlindungan pada anak buah bahkan kesederhanaan protokoler itu semua menular. Tapi kebimbangan, kehati-hatian berlebih, kelambatan, ketertutupan, formalitas kaku, pembiaran masalah, orientasi pada citra dan ketaatan buta pada prosedur itu juga menular. Menular jauh lebih cepat dan sangat sistemik.
Rakyat republik ini sudah kerja keras. Lihat di segala penjuru Indonesia. Mulai dari kampung kumuh-sumuk tak jauh dari istana, di puncak-puncak pegunungan dingin, di tepian pantai sebentangan khatulistiwa: rakyat republik ini serba kerja keras. Mereka mau maju, mereka mau hadirkan kehidupan yang lebih baik bagi anak-cucunya. Dan yang pasti mereka tidak biasa tanya siapa yang jadi pemimpin. Buat rakyat banyak tak terlalu penting siapa-nya, yang penting itu lunasi semua janji-nya.
Ini adalah sebuah peringatan apa adanya, semata-mata agar Indonesia tidak menemui persimpangan jalan itu. Ingat, rakyat negeri ini sudah kerja keras dan “berlari” cepat. Pengurus negara harus memilih mengimbangi kecepatan rakyat atau ditinggalkan rakyat.







** Anies Baswedan adalah Rektor Universitas Paramadina
@aniesbaswedan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedikit sejarah Viking-The Jak

oke, sekarang lagi pengen cerita sedikit ttg perseteruan paling heboh di zaman Indonesia modern antara viking-the jak. cerita ini diambil dari beberapa sisi yaitu : 1. pentolan viking tahun 1990an 2. Ayi beutik, panglima viking 3. Ketua the jak ke-3 entah siapa namanya 4. cerita langsung org2 yg hadir di kejadian jadi insyaalloh ga bakal lebay tapi sebelumnya, meskipun udah coba mencakup beberapa pandangan orang, mohon maaf kalau ceritanya masih pro ke viking *da kumaha2 ge aing mah viking, bakal dukung persib terus, dek damai hayu, perang ge jalan*  tapi ulah ateuh ai sampe ka perang mah,heheheehe.... so here's the story... maaf ya, buat org2 jakarta, meskipun dari zaman perserikatan udah saingan terus, cuman militansi suporter waktu itu persib emzng udah dahsyat. Beda sama pendukung persija apalagi waktu liga Indonesia mulai dengan ngegabungin tim2 perserikatan-galatama. Waktu itu pendukung persija belum ada, yg ada pendukung pelita jaya, termasuk Ferr...

LEBAM

Semakin nyaman berada dalam satu lingkungan, semakin enggan untuk beranjak darinya. Rasa dan jiwa menjadi lebam. Nyali berubah ciut dan kecut. Memang gila meninggalkan kenyamanan. Namun lebih gila menerus diam, tapi mengharapkan terjadi sesuatu perubahan.

Stop Mengeluh, Lakukan Perubahan!

Stop mengeluh dan mulai lakukan perubahan - sekecil apapun itu - untuk Indonesia yang lebih baik Banyak dari kita yang sering mengeluh mengenai berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia dan mempengaruhi hidup kita sehari-hari. MACET. BANJIR. KEMISKINAN. KEJAHATAN. KORUPSI dan masih banyak lagi. Twitter dan Facebook jadi sasaran tempat kita mengeluh dan bahkan memaki. Tapi, sudahkah kita bertanya pada diri sendiri perubahan apa yang telah kita lakukan, sekecil apapun, untuk menjadikan negeri ini lebih baik? Perubahan besar dapat dimulai dengan hal yang sederhana. Perubahan besar itu dapat terjadi jika ada perubahan-perubahan kecil - DIMULAI DARI DIRIMU.