Langsung ke konten utama

GURU BERDIRI, MURID BERLARI

Guru Berdiri, Murid Berlari
Teman pasti kalian pernah mendengar sebuah pepatah yang berbunyi,
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Ternyata memang benar siswa tergantung gurunya, bahkan bisa lebih parah. Menurut pepatah itu, jika gurunya saja kencing sambil berdiri maka muridnya bisa kencing sambil berlari. Lebih parah bukan?
Selama saya menjadi seorang pengajar, saya betul-betul mengalaminya. Tidak sampai kencing sambil berdiri memang, namun beberapa siswa saya menjadi suka menirukan apa yang saya lakukan. Mengulang-ngulang apa yang saya ucapkan dan membuat persamaan-persamaan seperti apa yang mereka lihat pada dari saya sendiri.
Saya tidak mengerti apa motifnya secara psikologi mereka melakukan hal itu. Hanya sekedar mencari perhatiankah, atau memang mereka sangat ingin seperti gurunya atau juga memang kekuatan guru sebagai role model begitu melekatnya pada diri mereka sehingga mereka akan menganggap apa yang dilakukan, diucapkan dan di pikirkan oleh seorang guru adalah yang terbaik untuk diri mereka.
Beberapa murid di tempat saya mengajar pada umumnya mereka sangat suka melakukan tindakan kekerasan kecil kepada temannya, baik itu memukul, menendang atau sekedar iseng mamatahkan sapu kelas lain. Waktu saja dua orang siswa menangis dalam satu hari karena “diapa-apain” oleh temennya. Saya tidak bilang bahwa semua guru disini suka menggunakan kekerasan dalam hal mendidik siswanya. Karena banyak faktor yang mempengaruhinya, tidak hanya guru yang disekolah, tapi juga guru yang ada dirumah, yaitu orang tua mereka
Setiap guru akan menjadi seorang yang dihargai dan dihormati oleh siswanya. Guru akan disegani dan dijadikan contoh bagi kehidupan di sekolahnya, mereka mengangap bahwa seorang guru adalah panutan. Mereka hampir setiap hari bertemu dengan gurunya, berdiri di depan kelas mereka dan mengajarkan hal-hal yang mereka diharapkan bisa berguna untuk hidupnya.
Setiap perkataan seorang guru adalah seolah menjadi sinar matahari yang menoros kedalam diri mereka, kata-kata itu memiliki kekuatan tersendiri. Kata-kata yang diucapkan di sekolah, tempat yang “sakral”untuk mendidik siswanya. setiap perbuatan seorang guru ibarat berputarnya bumi pada edaran matahari, setiap saat diikuti oleh bulan sebagai muridnya. Setiap perbuatan guru yang diulang-ulang di depan siswanya akan mempengaruhi alam bawah sadar siswanya dan tertanam dalam pikiran siswanya, suatu saat ingatan-ingatan itu bisa saja membuncah dan berubah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh siswa.

Suatu saat teman-teman semua pasti menjadi guru, tidak hanya guru di sekolah, bisa saja teman-teman akan menjadi guru untuk adik dan anak nantinya. Tidak perlu menjadi sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah. Cukup mengajarkan kebaikan pada murid anda nantinya.
Ingat apapun yang akan diajarkan kepada murid anda, nantinya akan diikuti oleh murid anda,cepat atau lambat. Percayalah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Budi Kecil

…Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal… Lirik lagu milik Iwan Fals ini sering sekali terimajinasi oleh saya, dari suara vokal dan gitar yang dibawakan oleh Iwan Fals, atau pun dari suara teman-teman saya ketika bernyanyi bersama, dengan seadanya. Mulanya saya kira lagu ini berjudul ‘Anak Sekecil Itu’, maklum saja saya tak pernah mendengarnya melalui versi lengkap yang dinyanyikan Iwan Fals. Ternyata lagu ini berjudul ‘Sore Tugu Pancoran’. Tiap kali mendengar lagu ini, ada satu perasaan yang hadir menyelimuti hati saya, yaitu tragis. Kenapa? Karena lagu ini berkisah tentang anak kecil bernama Budi yang harus bekerja sebagai penjual koran sore di kawasan Pancoran, kalau tidak salah ini di kawasan Jakarta Selatan. Ia melakukannya demi tetap dapat bersekolah dan mengenyam pendidikan untuk menggapai cita-cita. Ironis sekali Iwan Fals me...

Stop Mengeluh, Lakukan Perubahan!

Stop mengeluh dan mulai lakukan perubahan - sekecil apapun itu - untuk Indonesia yang lebih baik Banyak dari kita yang sering mengeluh mengenai berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia dan mempengaruhi hidup kita sehari-hari. MACET. BANJIR. KEMISKINAN. KEJAHATAN. KORUPSI dan masih banyak lagi. Twitter dan Facebook jadi sasaran tempat kita mengeluh dan bahkan memaki. Tapi, sudahkah kita bertanya pada diri sendiri perubahan apa yang telah kita lakukan, sekecil apapun, untuk menjadikan negeri ini lebih baik? Perubahan besar dapat dimulai dengan hal yang sederhana. Perubahan besar itu dapat terjadi jika ada perubahan-perubahan kecil - DIMULAI DARI DIRIMU.

Ke-Indonesia-an

Filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), pernah mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang terjadi adalah konflik. Ditambah ketidakmampuan (ataukah ketidakmauan?) pemimpin menegakkan hukum, maka yang muncul adalah kerusuhan di Ambon, Poso, dan Tuban, pascareformasi. Eforia reformasi dengan ingar bingar demokratisasi, desentralisasi, dan de-korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)-isasi ternyata di sisi lain mengabaikan identitas politik, ideologi, dan budaya Indonesia. Yang muncul adalah konflik komunal dan bangkitnya ”massa” sebagai kekuatan represif— menggantikan keotoriteran Orde Baru—yang melahirkan kerusuhan dan kekerasan dengan jubah agama. Tidak jujur Semua barangkali berpangkal dari ketidakjujuran mengurus bangsa. Kesadaran sebagai bangsa Indonesia memang baru mencuat pada awal 1920-an, berkat jasa politik kultural yang teramat besar dari Perhimpunan Indone...