Suatu pagi yang cerah dengan pancaran sinar matahari yang hangat memacu semangat Iman, seorang anak pensiunan pegawai negeri dan merupakan siswa kelas 12 jurusan IPS, untuk melangkahkan kaki dan mengayunkan kedua tangannya menuju sekolah. Harapan dan cita-citanya sangat tinggi, yaitu mengubah paradigma dan mindset mayarakat Indonesia dalam memandang kehidupan secara umum. Menurutnya, dewasa ini masyarakat Indonesia seakan-akan terlarut dalam sekulerisme bernuansa westernisasi dan melupakan adat ketimuran yang selama ini melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Melalui sekolah inilah, Iman berharap suatu saat nanti ia mampu mewujudkan cita-citanya.
Namun, kenyataannya ia dihadapkan pada sistem pendidikan di Indonesia yang kacau. Bayangkan saja, setiap kali pergantian posisi Menteri Pendidikan, hampir dapat dipastikan bahwa sistem pendidikan yang ada juga turut berubah. Pergantian Menteri Pendidikan berbanding lurus dengan perubahan sistem pendidikan. Akan tetapi, perubahan sistem pendidikan tersebut berbanding terbalik dengan peningkatan kualitas pendidikan. Terkadang dalam lamunannya, ia merasa khawatir jikalau suatu saat nanti ia gagal mewujudkan cita-citanya hanya karena sistem pendidikan.
Iman hanyalah sebagian contoh kecil dari berbagai macam fakta di lapangan mengenai generasi muda yang khawatir akan sistem pendidikan yang semakin tidak jelas. Seandainya kita saksikan secara seksama, pendidikan di Indonesia mengalami perubahan menuju modern. Sistem komputerisasi kian digalakkan dengan adanya pembelajaran melalui internet. Pemerintah pun turut ambil bagian melalui Kementerian Pendidikan dengan memberikan pendidikan dan sosialisasi kepada guru. Dengan pemberian pendidikan kepada tenaga pendidik, diharapkan kualitas pendidikan di Indonesia akan meningkat secara umum.
Akan tetapi, seperti dua sisi mata uang, perubahan kearah modern membuat siswa-siswi kurang mampu semakin menjerit. Ketiadaan biaya membuat banyak siswa-siswi yang putus sekolah dan lebih memilih untuk bekerja. Coba bayangkan, untuk memasuki jenjang mahasiswa, para orang tua harus merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah. Pemberian beasiswa untuk calon pelajar kurang mampu belum mencapai sasaran. Pertanyaan yang muncul adalah kemanakah dana pendidikan dari pemerintah ? Kemana pula arah cita-cita dari generasi muda Indonesia ? Akankah cita-cita mulia mengisi kemerdekaan menguap hanya karena sistem pendidikan yang kacau dan ketiadaan biaya ? Apa para elit politik bangsa ini lebih sibuk memikirkan urusan kantong daripada urusan pendidikan ?
Kalau kita melihat negara tetangga kita, Brunei Darussalam yang hanya berpenduduk +/- 300.000 jiwa, sistem pendidikan dikelola dengan baik. Para orangtua tidak perlu sibuk membiayai anaknya untuk bersekolah karena negara sudah membiayainya. Lebih jauh kita melangkah ke negara pengekspor minyak terbesar ke-9 di dunia, yaitu Libya. Sebuah negara yang saat ini sedang porak-poranda akibat perang. Sebelumnya, peserta didik di Libya tidak perlu khawatir akan masa depannya karena biaya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Bahkan pemerintah Libya memberikan beasiswa penuh kepada mahasiswa asal Libya yang kuliah di luar negeri.
Sebagai generasi muda Indonesia, saya berharap suatu saat nanti pemerintah mampu memfasilitasi pendidikan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, instansi pendidikan diharapkan mampu menghasilkan peserta didik berkualitas tanpa ada pamrih. Mengapa demikian ? Karena selama ini, instansi pendidikan lebih mementingkan urusan pribadi dan urusan kocek daripada tugas mulia mendidik generasi muda. Hampir bisa kita saksikan bersama praktek KKN dan kecurangan-kecurangan terjadi di instansi pendidikan. Bagaimana bisa menghasilkan peserta didik yang berkualitas apabila pendidiknya melakukan praktek KKN ? Sebuah ironi apabila peserta didik dilarang mencontek namun pendidik melakukan kecurangan sana-sini. Lupakan sistem pendidikan ala kolonial yang lebih menganut liberalisme karena hal tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi pancasila. Semoga suatu saat nanti kita mampu mengubah sistem pendidikan kearah yang lebih baik dan mengahasilkan generasi emas Indonesia yang mampu mengubah bangsa ini menjadi lebih baik, semoga saja.
Namun, kenyataannya ia dihadapkan pada sistem pendidikan di Indonesia yang kacau. Bayangkan saja, setiap kali pergantian posisi Menteri Pendidikan, hampir dapat dipastikan bahwa sistem pendidikan yang ada juga turut berubah. Pergantian Menteri Pendidikan berbanding lurus dengan perubahan sistem pendidikan. Akan tetapi, perubahan sistem pendidikan tersebut berbanding terbalik dengan peningkatan kualitas pendidikan. Terkadang dalam lamunannya, ia merasa khawatir jikalau suatu saat nanti ia gagal mewujudkan cita-citanya hanya karena sistem pendidikan.
Iman hanyalah sebagian contoh kecil dari berbagai macam fakta di lapangan mengenai generasi muda yang khawatir akan sistem pendidikan yang semakin tidak jelas. Seandainya kita saksikan secara seksama, pendidikan di Indonesia mengalami perubahan menuju modern. Sistem komputerisasi kian digalakkan dengan adanya pembelajaran melalui internet. Pemerintah pun turut ambil bagian melalui Kementerian Pendidikan dengan memberikan pendidikan dan sosialisasi kepada guru. Dengan pemberian pendidikan kepada tenaga pendidik, diharapkan kualitas pendidikan di Indonesia akan meningkat secara umum.
Akan tetapi, seperti dua sisi mata uang, perubahan kearah modern membuat siswa-siswi kurang mampu semakin menjerit. Ketiadaan biaya membuat banyak siswa-siswi yang putus sekolah dan lebih memilih untuk bekerja. Coba bayangkan, untuk memasuki jenjang mahasiswa, para orang tua harus merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah. Pemberian beasiswa untuk calon pelajar kurang mampu belum mencapai sasaran. Pertanyaan yang muncul adalah kemanakah dana pendidikan dari pemerintah ? Kemana pula arah cita-cita dari generasi muda Indonesia ? Akankah cita-cita mulia mengisi kemerdekaan menguap hanya karena sistem pendidikan yang kacau dan ketiadaan biaya ? Apa para elit politik bangsa ini lebih sibuk memikirkan urusan kantong daripada urusan pendidikan ?
Kalau kita melihat negara tetangga kita, Brunei Darussalam yang hanya berpenduduk +/- 300.000 jiwa, sistem pendidikan dikelola dengan baik. Para orangtua tidak perlu sibuk membiayai anaknya untuk bersekolah karena negara sudah membiayainya. Lebih jauh kita melangkah ke negara pengekspor minyak terbesar ke-9 di dunia, yaitu Libya. Sebuah negara yang saat ini sedang porak-poranda akibat perang. Sebelumnya, peserta didik di Libya tidak perlu khawatir akan masa depannya karena biaya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Bahkan pemerintah Libya memberikan beasiswa penuh kepada mahasiswa asal Libya yang kuliah di luar negeri.
Sebagai generasi muda Indonesia, saya berharap suatu saat nanti pemerintah mampu memfasilitasi pendidikan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, instansi pendidikan diharapkan mampu menghasilkan peserta didik berkualitas tanpa ada pamrih. Mengapa demikian ? Karena selama ini, instansi pendidikan lebih mementingkan urusan pribadi dan urusan kocek daripada tugas mulia mendidik generasi muda. Hampir bisa kita saksikan bersama praktek KKN dan kecurangan-kecurangan terjadi di instansi pendidikan. Bagaimana bisa menghasilkan peserta didik yang berkualitas apabila pendidiknya melakukan praktek KKN ? Sebuah ironi apabila peserta didik dilarang mencontek namun pendidik melakukan kecurangan sana-sini. Lupakan sistem pendidikan ala kolonial yang lebih menganut liberalisme karena hal tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi pancasila. Semoga suatu saat nanti kita mampu mengubah sistem pendidikan kearah yang lebih baik dan mengahasilkan generasi emas Indonesia yang mampu mengubah bangsa ini menjadi lebih baik, semoga saja.
Komentar
Posting Komentar